BAB I
LATAR BELAKANG
Diabetes
melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Estimasi terakhir oleh International
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2013 didapatkan bahwa terdapat 382
juta orang yang hidup dengan diabetes di seluruh dunia. Pada tahun 2035 jumlah
tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Di Indonesia
sendiri, berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 penderita DM yang terdiagnosis mencapai 12,2
juta penderita daan sekitar 1 juta orang merasakan gejala diabetes melitus
namun belum dipastikan oleh pemeriksaan dokter. World Health Organization (WHO) memperkirakan Indonesia menduduki
peringkat ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah Cina,
India, dan Amerika Serikat, dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita
diabetes di Indonesia akan mencapai 21,3 juta penderita.
Peningkatan
insidensi DM di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan
terjadinya komplikasi kronik DM yakni penyumbatan mikrovaskuler seperti
retinopati, nefropati dan neuropati maupun makrovaskuler seperti Penyakit
Jantung Koroner (PJK), penyumbatan pembuluh darah tungkai bawah yang berujung
pada terjadinya ulkus diabetik hingga ganggren. Komplikasi ini berdampak pada
menurunnya kuaitas hidup penderita hinggga dapat menyebabkan kematian.
Sebagai
suatu penyakit multifaktorial, penanganan DM dan komplikasinya masih menjadi
masalah dalam dunia kedokteran. Selain terapi farmakologis dan non farmakologis
yang sudah sejak dulu digunakan, saat ini telah berkembang terapi alternatif dengan
menggunakan oksigen murni sebagai sumber pengobatan. Terapi ini kemudian lebih
dikenal dengan istilah Hyperbaric Oxigen
Therapy (HBOT).
Pengobatan oksigenasi hiperbarik sudah dikenal sejak abad ke-16
dan digunakan sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan penyakit dan
pengobatan. Tepatnya di Inggris tahun 1662 oleh Henshaw, Ruang Udara Bertekanan
Tinggi/RUBT (Hyperbaric Chamber)
digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dan rickets. Di Perancis
tahun 1834 oleh dr Junot menyatakan adanya penyembuhan bermakna pada pasien
dengan penyakit cardiopulmoner yang diobati degan hiperbarik. Di Indonesia pada
tahun 1960, pengobatan hiperbarik mulai digunakan oleh TNI AL yang selanjutnya
dikembangkan di Tanjung Pinang, Jakarta, Ambon, Lakesla Surabaya, yang
digunakan untuk menangani kasus-kasus cedera penyelamanan seperti keracunan gas
pernapasan dan penyakit dekompresi.
Disamping pengobatan utama untuk penyakit-penyakit akibat
penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai
pengobatan tambahan dan pengobatan pilihan lain dalam terapi untuk membantu
penyembuhan berbagai penyakit klinis seperti penyembuhan luka infeksi, luka
bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes mellitus, serta kesehatan dan
kebugaran pasien usia lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
DIABETES
MELITUS
Diabetes
Melitus (DM) adalah penyakit yang ditandai
dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolism
karbohidrat, lemak, dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara
absolut atau relatif dari kerja dan atau
sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan
berat badan, kesemutan.
Diabetes
Melitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan
ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung,
sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren,
infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak
jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi anggota tubuh karena
terjadi pembusukan.
Untuk
menurunkan kejadian dan keparahan dari Diabetes Melitus tipe 2 maka dilakukan
pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan pengobatan seperti obat oral
hiperglikemik dan insulin. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu:
1) Rusaknya sel - sel B pankreas karena
pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
2) Desensitasi atau penurunan reseptor
glukosa pada kelenjar pankreas
3) Desensitasi atau kerusakan reseptor
insulin di jaringan perifer
Dalam patofisiologi
DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
1) Resistensi insulin
2) Disfungsi sel B pancreas
Diabetes
melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena
sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin
banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta
penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Defisiensi
fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relative. Pada awal
perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel - sel B pankreas. Kerusakan
sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada
DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10
menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah
insulin yang disimpan dalam sel β (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit
setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah
tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal.
Gangguan sekresi sel β menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar
insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat,
sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan
fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM
tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan
selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan
sel β. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa
dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl
kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa
darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih
tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel β menyebabkan fungsinya
menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek
penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis
mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan
mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan
fungsi sel β diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain
menurunnya massa sel β, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit
amilyn dalam sel β dan efek toksik glukosa (glucose toxicity).
Pada
sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi
insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons
metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu
atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin
merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan
penting pada perkembangannya. Selain
resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom
ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain
seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan
berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin.
Gejala
DM dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut antara lain poliphagia
(banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering
kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan
cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), serta mudah lelah. Sedangkan gejala
kronik yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum,
rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur,
gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria
bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian
janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir > 4000 gram.
Prinsip
penatalaksanaan DM secara umum ada lima sesuai dengan Konsensus Pengelolaan DM
di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM terbagi menjadi tujuan jangka pendek yakni untuk
menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya
target pengendalian glukosa darah, dan tujuan jangka panjang yaitu untuk
mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi mikroangiopati dan
makroangiopati. Lima prinsip penatalaksanaan DM antara lain diet, latihan,
pendidikan kesehatan, dan pemberian obat DM yang terbagi dua yaitu obat
hiperglikemia oral (OHO) dan insulin.
Diabetes
yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis.
Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1) Komplikasi Metabolik Akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah
seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering
terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar
gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia
dapat terjadi karena pemberian insulin atau obat antidiabetik oral yang
berlebihan selama terapi DM, konsumsi makanan yang terlalu sedikit, maupun
aktifitas fisik yang berat.
b. Diabetes Ketoasidosis
c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
(HHNK)
HHNK merupakan komplikasi metabolik akut
lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang
lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif,
hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa
serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas,
diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA
adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
2) Komplikasi Metabolik Kronik Jangka
Panjang
Komplikasi kronik jangka panjang yang
melibatkan pembuluh-pembuluh kecil disebut mikroangiopati sedangkan
pembuluh-pembuluh besar dan sedang disebut makroangiopati.
a. Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang
menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal
(nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik).
b. Makroangiopati
Makroangiopati mempunyai gambaran
histopatologis berupa aterosklerosis yang akan mengakibatkan penyumbatan
vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan
penyakit pembuluh darah perifer (misalnya kaki diabet). Jika yang terkena
adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark
miokardium. Dan jika yang terkena adalah arteri serebral makadapat mengakibatkan
stroke.
Batasan
Luka Gangren
Komplikasi DM yang paling berbahaya
adalah komplikasi pada pembuluh darah. Pembuluh darah besar maupun kecil
ataupun kapiler penderita DM mudah menyempit dan tersumbat oleh
gumpalan darah (angiopati diabetic).
Jika sumbatan terjadi di pembuluh darah sedang atau besar ditungkai
(makroangopati diabetik), tungkai akan lebih mudah mengalami gangren diabetik,
yaitu luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk. Bila sumbatan
terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar, penderita DM akan merasa
tungkainya sakit sesudah ia berjalan pada jarak tertentu, karena aliran darah
ke tungkai tersebut berkurang dan disebut claudication intermitten.
Beberapa faktor secara bersama-sama
berperan pada terjadinya ulkus/ gangrene diabetes. Dimulai dari faktor
pengelolaan penderita DM terhadap penyakitnya yang tidak baik, adanya neuropati
perifer dan autonom, faktor komplikasi vaskuler yang memperburuk aliran darah
ke kaki tempat luka, faktor kerentanan terhadap infeksi akibat respons kekebalan
tubuh yang menurun pada keadaan DM tidak terkendali, serta faktor
ketidaktahuan pasien sehingga terjadi masalah gangren diabetik. Secara umum,
gangren diabetik biasanya terjadi akibat triad yaitu neuropati perifer,
insufisiensi vaskuler perifer, dan infeksi.
Penderita yang beresiko tinggi
mengalami gangren diabetik adalah meliputi lama menderita penyakit
diabetes yang melebihi 10 tahun, usia pasien yang lebih dari 40 tahun, riwayat
merokok, penurunan denyut nadi perifer, penurunan sensibilitas, deformitas
anatomis atau bagian yang menonjol (seperti bunion atau kalus), riwayat ulkus
kaki atau amputasi, pengendalian kadar gula darah yang buruk.
Rangkaian yang khas dalam proses
timbulnya gangren diabetik pada kaki dimulai dari cedera pada
jaringan lunak kaki, pembentukan fisura antara jari-jari kaki atau di daerah
kulit kering, atau pembentukan sebuah kalus. Jaringan yang terkena mula-mula
menjadi kebiruan dan terasa dingin bila disentuh. Kemudian jaringan yang mati
menghitam dan berbau busuk. Cedera tidak dirasakan oleh pasien yang
kepekaannya sudah menghilang dan bisa berupa cedera termal, cedera kimia atau
cedera traumatik. Pengeluaran nanah, pembengkakan, kemerahan (akibat selulitis)
atau akibat gangren biasanya merupakan tanda pertama masalah kaki yang menjadi
perhatian penderita.
Klasifikasi Skala Wagner gangrene Diabetik:
Tingkat 0
|
Resiko tinggi untuk mengalami luka
pada kaki
Tidak ada luka
|
Tingkat 1
|
Luka ringan tanpa adanya infeksi,
biasanya luka yang terjadi akibat kerusakan saraf
Kadang timbul kalus
|
Tingkat 2
|
Luka yang lebih dalam, sering kali
dikaitkan dengan peradangan jaringan di sekitarnya. Tidak ada infeksi pada
tulang dan pembentukan abses.
|
Tingkat 3
|
Luka yang lebih dalam ke tulang,
dan terbentuk abses
|
Tingkat 4
|
Gangren yang terlokalisasi,
seperti pada jari kaki, bagian depan kaki atau tumit
|
Tingkat 5
|
Gangren pada seluruh kaki
|
Sumber: Baranoski S dan Ayello EA (2003).Wound care essential: Principles. New
York. Lippincott William &Wilkins.
Proses
Penyembuhan Luka
Luka adalah rusaknya
kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan
yang rusak atau hilang.
a)
Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah
adanya respon vaskuler dan seluler akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan
lunak. Tujuan yang hendak dicapai pada fase ini adalah menghentikan perdarahan
dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk
mempersiapkan proses penyembuhan.
Fase
ini berlangsung sejak hari ke 1-5. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan
menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan
vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus dan reaksi
hemostasis yang terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket dan bersama-sama dengan fibrin
yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.
Sel
mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pembentukan sel radang,
disertai vasodilatasi sempat ytaang menyebabkan edema. Tanda dan gejala klinik
reaksi radang menjadi jelas berupa rubor, kalor, dolor, dan tumor.
Pada
awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabakan keluarnya platelet
yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka
dan juga mengeluarkan substansi vasokontriksi. Selanjutnya terjadi penempelan
endotel yang akan menutup pembuluh darah.
Periode
ini hanya berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi
kapiler akibat stimulasi saraf sensorik, local
reflex action, dan adanya substansi vasodilator juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka, maka secara klinis terjadi edema
jaringan dan keadaan lokal lingkungan menjadi asidosis.
Eksudasi
ini juga mengakibatkan migrasi sel leukosit (neutrofil) ke ruang ekstra
vaskuler. Fungsi dari neutrofil ini adalah melakukan fagositosis benda asing
dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian digantikan oleh sel
magrofag yang berperan lebih besar jika dibandingkan dengan neutrofil.
Fungsi
magrofag disamping fagositosis adalah sebagai sintesa kolagen, pembentukan
jaringan granulasi bersama dengan fibroblast, memproduksi growth factor yang berperan pada proses reepitelisasi, pembentukan
pembuluh darah kapiler baru dan angiogenesis. Dengan berhasil dicapainya
keadaan luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta terbentuknya
magrofag dan fibroblast, maka keadaan ini dapat dipakai pedoman bahwa fase inflamasi
dapat dilanjutkan ke fase proliferasi. Secara klinis ditandai dengan eritema,
hangat pada kulit lokal, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai 3 atau 4
hari.
b)
Fase proliferasi
Proses kegiatan seluler
yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka yang
ditandai dengan adanya pembelahan/proliferasi sel. Peran fibroblast sangat
besar pada proses perbaikan yaitu bertanggungjawab pada persiapan menghasilkan
produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak
normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya
bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast
akan aktif bergerak dari jaringaan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian
beberapa substansi seperti kolagen, hyaluronic,
fibronectin dan proteoglikan yang
berperan dalam membangun rekonstruksi jaringan baru.
Fungsi kolagen yang
lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat olleh
fibroblast, memberikan penanda bahwa maakrofag, pembuluh daaraah baaru dan juga
fibroblast sebagai kesatuan unit dapat memasuki daerah luka. Sejumlah sel dan
pembuluh darah baru tertanam didalam jaringan baru tersebut dise but ssebaagai
jaringan granulasi. Sedangkan proses proliferaasi fibroblast dengan aktifitas
sintetiknya disebut fibroblasi.
Respon yang dilakukan
fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi. Migrasi, deposit
jaringan matriks dan kontraksi luka. Tahap proliferasi juga terjadi
angiogenesis, yaitu suatu prosses pembentukan pembuluh kapiler darah
baru.vaskuler akibat penyakit diabetes, pemgobatan radiasi dan atau preparat
steroid mengakibatkan terjadi lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus
yang kronis.
Jaringan vaskuler yang
melakukan invasi luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan
nutrisi yang cukup didaerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat
keadaan hipoksik dan turunnya tekannan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan
aangiogenesuis merupakan proses yang terintegrasi dan dipengaruhi oleh
substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor).
Proses selanjutnya
adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratiniasai akan dimulai dari pinggir dan akhirnya membentuk barier
yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast,
pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kulaitasnyaa dengan mengatur
keseimbangn jaringan granulasi dan dermis.
Untuk membantu jaringan
baru itu menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan
defek luka minimal. Fase proliferasi ini akan berakhir jika epitel dermis dan
lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi akan dipercept oleh
berbagai growth factor yang dibentuk
oleh makrofag dan platelet.
Setelah 2 minggu , luka
hanya memilki 3-5 % kekuatan. Sampai akhir bulan bisa sampai 35-59 % kekuatan
maturasi luka tercapai. Kekuatan jaringan luka tidaak akan lebih dari 70-80 %
dicapai kembali seperti keadaan normal. Baanyak vitamin, terutama vitamin C,
membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.
c)
Fase maturasi
Fase ini dimulai pada
minggu ke 3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan
dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi
jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu.
Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan sudah mulai
berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut
akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Sintesa kolagen yang
telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi.
Kecuali pembentukan kolagen juga kan terjadi proses pemecahan kolagen oleh
enzim koligenase. Kolagen muda (gelatinous
collagen) yang terbentuk pada fase
proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang yaitu lebih kuat dan
struktur yang lebih baik.
Untuk mencapai
penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi
dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihanakan menyebabkan penebalan
jaringan parut atau hypertropic scar, sebaliknya produksi yang berkurang
akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Pada
proses ini dikatakan sembuh jika telah terjadi kontinuitas jaringan parut yang
kuat atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal.
Proses Penyembuhan Luka Diabetes
Melitus
Meskipun proses penyembuhan luka
sama bagi setiap orang, namun outcome yang dicapai sangat tergantung dari
kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka.
Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat bila dibandingkan
penderita kurang gizi, manula atau disertai penyakit sistemik.
Pasien diabetes sangat beresiko
terhadap kejadian luka kaki yang lama sembuh, dan merupakan jenis luka kronis.
Perawatan luka diabetes relatif cukup lama dan mahal, namun akan menjadi
berkualitas hidupnya jika dibandingkan bila kehilangan salah satu anggota
tubuhnya. Ada banyak alasan mengapa pasien diabetes beresiko tinggi
terhadap kejadian luka kaki, diantaranya akibat kaki yang sulit bergerak
terutama jika pasien dengan obesitas atau karena neuropati sensorik
sehingga tidak sadar kakinya terluka, atau karena iskemik pada pasien
perokok berat, sehingga proses penyembuhan luka menjadi terhambat akibat
kontruksi pembuluh darah.
Disamping itu juga adanya gangguan
sistem imunitas pada penderita diabetes menyebabkan luka mudah terifeksi dan
jika terkontaminasi bakteri akan menjadi ganggren sehingga makin
sulit perawatannya dan serta beresiko amputasi. Luka akan sembuh sesuai
dengan tahapan yang spesifik dimana bisa terjadi tumpang tindih.
Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak serta
penyebabluka tersebut.
Proses
penyembuhan
luka gangren merupakan proses yang komplek
dengan melibatkan banyak sel. Proses
penyembuhan meliputi fase koagulasi,
inflamasi,
proliferasi dan remodeling. Penyembuhan
luka diawali adanya stimulus arachidonic acid pada
komplemen luka, dimana polymorphonuclear granulosit menuju ke
tempat luka sebagai pertahanan. Pada saat yang sama jika terjadi rupture
pembuluh darah, kolagen subendotelial terekspos dengan platelet yang merupakan
awal koagulasi. Inilah awal proses penyembuhan
luka dengan melibatkan platelet.
Kemudian terbentuk flug fibrin dan sel radang lainnya masuk kedalam
luka. Flug
fibrin yang terdiri dari fibrinogrn, fibronectin, vitronectin
dan trombospondin dalam suatu rangkaian kerja yang saling
berhubungan.
Hal ini menyebabkan
vasokontriksi
dan terjadi
koagulasi. Norephineprine disekresikan
oleh pembuluh darah dan serotin oleh patelet dan sel mast bertangung jawab pada
vasokontriksi ini. Pada tahapan
ini terjadi proses
adhesi,
agregasi dan
degranulasi kemudian
mengeluarkan
sitokain dan faktor pertumbuhan
yang sebagian besar netrofil dan
monosit serta mitogen, keudian timbul fibroblast dan sel endothel pada fase
ini.
Bentuk-Bentuk
Penyembuhan Luka
a.
Healing by primary intention (Penyatuan Primer)
Tepi luka bias menyatu kembali,
permukaan bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang
hilang. Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke eksternal. Luka
dibuat secara aseptic, dengan pengrusakan jaringan minimum dan penutupan dengan
baik , seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit haringan melalui intensi
pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi yang
tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
b.
Healing by secondary intention (Granulasi)
Terdapat sebagian jaringan yang
hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan
granulasi pada dasar luka dan sekitarnya. Pada luka terjadi pembentukan pus
(supurasi) atau tepi luka tidak saling merapat, proses perbaikannya kurang
sempurna dan membutuhkan waktu lebih lama.
c.
Delayed primary healing (tertiary
healing)
Penyembuhan luka berlangsung lambat,
biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara
manual, luka dalam baik yang belum disuture atau terlepas dan kemudian disuture
kembali nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini
mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas.
Gambar 2. Proses penyembuhan luka |
A.
HIPERBARIK
OKSIGEN (HBO)
1.
Definisi
Hiperbarik berasal dari
kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata lain terapi
hiperbarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada awalnya,
terapi hierbarik hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness, yaitu
suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara
mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh
baik didalam sel maupun diuar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan
disetiap organ didalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada jumlah
dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi
hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi macam-macam penyakit, beberapa
diantaranya seerti stroke, multipel sclerosis, cerebral edema, keracunan karbon
monoksida dan sianida, trauma kepala tertututp, gas gangren, peripheral
neuropathy, osteomielitis, sindroma kompartemen, diabetik neuropati, migran,
infark miokard dan lain-lain.
Hiperbarik oksigen
adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan,
dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar
dari 1 ATA (atmosfer absolute). Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan
dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan
minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi
terapi bergantung pada kondisi pasien dengan rentang 1 sesi untuk keracunan
ringan karbon monoksida hingga 60 sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada
kaki.
2.
Mekanisme
Mekanisme
TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama, bernafas dengan oksigen murni
dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yang tekanannya lebih
tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat menekan saturasi
hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang berfungsi
mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke jaringan.
Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada saturasi
hemoglobin.
Kedua,
di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam plasma.
Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma jauh
lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi
transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya,
menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer. Hasil tekanan
dalam peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam
plasma. Itu adalah konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh saat
istirahat bahkan dalam total tidak adanya hemoglobin.
Sistem
kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih dari 1 atm,
setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%) kedalam
ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita
hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80%nya
adalah nitrogen.
Pada
TOHB, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal dan pasien
bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan tinggi,
menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen kedalam darah serta jaringan
dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali lebih
tinggi dari normal.
Oksigenasi
ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal ini merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang
perkembangan pembuluh darah baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi
pembengkakan.
3.
Indikasi
Hiperbarik dapat
memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-penyakit akibat penyelaman
dan kegiatan kelautan:
· Penyakit
Dekompresi
· Emboli
udara
· Luka
bakar
· Crush
Injury
· Keracunan
gas karbon monoksida (CO)
Terdapat
beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
· Gas
gangrene
· Komplikasi
diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
· Eritema
nodosum
· Osteomyelitis
· Buerger’s
diseases
· Morbus
Hansen
· Psoriasis
vulgaris
· Edema
serebral
· Scleroderma
· Lupus
eritematosus (SLE)
· Rheumatoid
artritis
Terdapat
pula pengobatan pilihan, yaitu:
· Pelayanan
kesehatan dan kebugaran
· Pelayanan
kesehatan olahraga
· Pasien
lanjut usia (geriatri)
· Dermatologi
dan kecantikan
4.
Kontraindikasi
Kontraindikasi terapi
oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi absolute dan relatif. Kontra
indikasi absolute yaitu penyakit pneumothorax yang belum ditangani.
Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik
lebih dari 170 mmHg atau kurang dari 90
mmHg, diastole lebih dari 110 mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih
dari 38oC, ISPA, sinusitis, Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup),
penyakit asma, emfisema dan retensi CO2, infeksi virus, infeksi kuman aerob
seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optik, riwayat operasi
thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang kemoterapi seperti terapi
adriamycin, bleomycin.
5.
Persiapan
Persiapan
terapi oksigen hiperbarik antara lain:
·
Pasien diminta untuk menghentikan
kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi
sehingga mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
·
Beberapa medikasi dihentikan 8 jam
sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik antara lain vitamin c, morfin dan
alkohol.
·
Pasien diberikan pakaian yang terbuat
dari 100% bahan katun dan tidak memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion
yang terbuat dari bahan dasar petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung
plastik, dan alat elektronik.
·
Pasien tidak boleh menggunakan semua zat
yang mengandung minyak atau alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku,
deodoran, lotion, cologne, parfum, salep) dilarang karena berpotensi memicu
bahaya kebakaran dalam ruang oksigen hiperbarik.
·
Pasien harus melepaskan semua perhiasan,
cincin, jam tangan, kalung, sisir rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang
untuk mencegah goresan akrilik silinder di ruang hiperbarik.
·
Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk
ke ruangan karena pembentukan potensi gelembung antara lensa dan kornea.
·
Pasien juga tidak boleh membawa koran,
majalah, atau buku untuk menghindari percikan api karena tekanan oksigen yang
tinggi berisiko menimbulkan kebakaran.
·
Sebelum pasien mendapatkan terapi
oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih dahulu oleh seorang dokter yang
menguasai bidang hiperbarik. Evaluasi mencakup penyakit yang diderita oleh
pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen hiperbarik pada
kondisi pasien.
·
Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada
kondisi penyakit pasien. Pasien umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90
menit. Tiap 30 menit terapi pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit.
Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen pada pasien.
·
Terapi oksigen hiperbarik memerlukan
kerjasama multidisiplin sehingga satu pasien dapat ditangani oleh berbagai
bidang ilmu kedokteran.
·
Pasien dievaluasi setiap akhir sesi
untuk perkembangan hasil terapi dan melihat apakah terjadi komplikasi
hiperbarik pada pasien.
·
Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan
pasien benapas secara normal (jangan menelan udara) dan menghindari makan besar
atau makanan yang memproduksi gas atau minum sebelum perawatan.
B.
PERANAN
TERAPI HIPERBARIK TERHADAP DIABETES MELITUS
1.
Menurunkan
kadar glukosa darah
Seperti yang diketahui,
diabetes melitus timbul karena tubuh kekurangan insulin atau reseptor insulin
tubuh tidak berfungsi baik. Insulin adalah hormon yang produksi sel beta di
pankreas yang mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah
kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan pada hati dan otot. Dalam
jangka panjang, kadar glukosa darah yang tinggi akan menaikkan kadar kolesterol
dan trigliserida darah. Selanjutnya akan terjadi aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah)
yang membuat aliran darah tidak lancar sehingga tubuh kekurangan oksigen.
Menurut Mayor Laut (K)
Titut Harnanik, terapi hiperbarik oksigen (HBO) pada Penderita diabetes,
terutama tipe II (gangguan pada reseptor insulin) mampu mempercepat kesembuhan
dan mengurangi dosis obat yang diminum penderita diabetes. Dari hasil
penelitiannya pada tahun 2008 pada 13 orang pasien diabetes diterapi memakai
oksigen 100% dan tekanan 2,4 atmosfir (setara kedalaman 14 meter di bawah
permukaan laut) selama lima hari berturut-turut, diberi perlakuan ini selama 2
jam, terjadi penurunan gula darah secara signifikan. Jika biasanya tak pernah
kurang dari 200 miligram per desiliter (mg/dl), kadar gula darah mereka bisa
sampai 60 mg/dl.
Pada pasien diabetes
tipe I yang mengalami kerusakan pada
fungsi pankreas sehingga tak bisa menghasilkan insulin, setelah menjalani
terapi oksigen hiperbarik beberapa waktu, pasien yang harus disuntik insulin
itu bisa lepas dari ketergantungan pada insulin dari luar, namun pasien wajib diterapi 3-5 kali per bulan
seumur hidup guna menjamin pasokan oksigen ke pankreas.
Menurut Suyanto Sidik,
terapi oksigen hiperbarik bersifat memperbaiki jumlah oksigen di dalam tubuh.
Diabetes membuat kondisi pembuluh darah penderitanya buruk sehingga aliran
darah tak lancar. Contohnya, ada pasien diabetes dengan luka terbuka yang tak
sembuh atau tak kunjung kering. Hal itu terjadi karena pembuluh darah tak
mendapat pasokan oksigen sehingga tak berfungsi normal dalam memperbaiki
kerusakan sel.
Sedangkan menurut dr.
Susan Manungkalit, yang juga dokter di Pusat Hiperbarik RS TNI AL dr
Mintohardjo Jakarta mengatakan, HBO mampu meningkatkan kandungan oksigen pada
plasma darah. Pada kondisi oksigen normal di udara bebas (20%) dengan tekanan
normal (1 atmosfir), jumlah oksigen pada hemoglobin 20,1% dan plasma darah 0,32
persen. Jika diberi oksigen 100 persen dan tekanan normal 1 atmosfir, oksigen
hemoglobin tetap 20,1% dan oksigen plasma darah jadi 2,14%. Ketika tekanan
oksigen 100 persen dinaikkan jadi 3 atmosfir, jumlah oksigen dalam plasma darah
jadi tiga kali lipat (6,42%). Meningkatnya tekanan dan volume oksigen
menimbulkan oksigenasi pada jaringan yang mengalami kekurangan pasokan oksigen
(hipoksia). Dampak lain, terjadinya pembaruan pembuluh darah, mendorong
perkembangbiakan sel, dan meningkatkan ”kemampuan tempur” sel darah putih
(leukosit). Pengobatan Diabetes
mellitus (DM) adalah pengobatan seumur
hidup yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, agar tetap
produktif dan tidak menjadi beban masyarakat. Terapi ini dapat memberikan
manfaat antara lain:
a) Meningkatkan
sekresi insulin dan menurunkan sekresi hormon kontra insulin.
b) Meningkatkan
metabolisme aerob sehingga menurunkan kadar gula darah.
c) Menurunkan
kadar HbAlc, hal ini menunjukkan perbaikan pengolahan gula darah penderita
Diabetes mellitus (DM) untuk jangka panjang.
d) Memperlancar
aliran darah terutama didaerah mikrosirkulasi sehingga mencegah komplikasi pada
organ tubuh vital.
e) Meningkatkan
kebugaran penderita Diabetes mellitus.
2.
Meningkatkan
regenerasi saraf perifer
Regenerasi
saraf pada diabetes sangat esensial untuk perbaikan neuropati sama halnya
dengan penyembuhan saraf akibat cedera dari kompresi saraf. Hipoksia endoneural
akibat hiperglikemia diamati pada awal terjadinya diabetes dan hasil dari
iskemia memainkan peran penting dalam mengurangi regenerasi neuron. Terapi
hiperbarik oksigen mampu memproduksi jaringan yang hiperoksia dengan
meningkatan tekanan oksigen pada jaringan yang iskemik dan tampak memiliki
keuntungan dalam perbaikan neuropati iskemik.
3.
Mempercepat
penyembuhan ulkus diabetik
Dalam
keadaan iskemia, tubuh akan mengalami gangguan dalam proses terjadinya
penyembuhan luka. Diketahui pula bahwa hipoksia tidak sama dengan iskemia,
karena itu ada asumsi yang mengatakan bahwa pemberian oksigen lebih banyak akan
membantu proses penyembuhan luka dalam keadaan tertentu. Sudah menjadi
kenyataan bahwa HBO mempunyai efek yang baik terhadap vaskularisasi dan perfusi
perifer serta kelangsungan hidup jaringan yang iskemik. Penggunaan oksigen
hiperbarik dalam klinik meningkat dengan cepat dimana perbaikan vaskularisasi,
perbaikan jaringan yang hipoksia dan pengurangan pembengkakan merupakan faktor
utama dalam mekanismenya.
Kerusakan
pada jaringan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Sel, platelet dan kolagen
tercampur dan mengadakan interaksi. Butir-butir sel darah putih melekat pada
sel endotel pembuluh darah mikro setempat. Pembuluh darah yang tersumbat akan
mengadakan dilatasi. Leukosit bermigrasi diantara sel endotel ke tempat yang
rusak dan dalam beberapa jam maka akan difiltrasi dengan granulosit dan
makrofag. Sel darah putih akan digantikan oleh fibroblast yang juga melakukan
metabolisme dengan cepat. Pada saat kebutuhan metabolisme jaringan rusak
mengalami peningkatan tidak didukung oleh adanya sirkulasi lokal yang baik,
maka akan terjadi hipoksia di daerah yang rusak tersebut.
Dalam beberapa hari fibroblast mengalir ke daerah
luka dan mulai terbentuk jaringan kolagen. Disamping itu juga terjadi
neorovaskularisasi yang disebabkan oleh inflamasi dan kebutuhan perbaikan
jaringan, merangsang pembentukan pembuluh darah baru. Pembentukan jaringan
kolagen oleh fibroblast merupakan dasar dari proses penyembuhan luka, karena
kolagen adalah protein penghubung yang mengikat jaringan yang terpisah menjadi
satu.
Ada
hal yang nampaknya paradoksal namun itu suatu kenyataan, yaitu apabila sel
dibiarkan anoksi maka suatu polypeptide precursor kolagen menumpuk didalam sel
tetapi tidak ada kolagen yang dilepaskan. Bila oksigen diberikan dengan
kecepatan tinggi, maka enxim yang membentuk kolagen diaktifkan. HBO secara
khusus bermanfaat dalam situasi dimana terdapat komprsi pada oksigenasi
jaringan di tingkat mikrosirkulasi. Oksigen memperbaiki gradient oksigen untuk
difusi dari pembuluh darah kapiler ke dalam sel dimana terdapat tahanan partial
seperti edema, jaringan nekrotik, jaringan ikat, benda asing dan darah yang
tidak mengalir.
Mekanisme HBO terhadap Ulkus Diabetik
HBO memiliki mekanisme
dengan memoulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini HBO
juga meningkatkan vasculaar endotel growth factor (VGEF). Melalui siklus krebs
terjadi peningkatan nucleotide cid dihidroxi (NADH) yang memicu peningkatan
fibroblast. Fibroblast diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama
dengan VGEF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu
tahapan dalam penyembuhan luka.
Mekanisme di atas
berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBO yaitu untuk wwound healing.
Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan infeksi. Di bagian
edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini
mengalami kondisi hipo-oksigen karen hipoperfusi. Peningkatan fibroblast
sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi
pada daerah edema tersebut. Maka, kondisi daerah tersebut menjadi
hipervaskular, hiperseleuler, dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan
tinggi, terjadi peningkatan IFN-ᵞ,
i-NOS dan VGEF. IFN-ᵞ menyebabkan
TH-1 meningkat yang berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G.
Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat.
Sehingga pemberian HBO pada luka akan berfungsi menurunkan infeksi dan edema.
Adapaun cara HBO pada
prinsipnya adalah diawali dengan pemberian O2 100 %, tekanan 2-3 Atm. Tahap
selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompression
sickness. Maka akan terjadi
kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luk. Kondisi ini akan
memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis
yang menyebabkan neovaskuarisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi
peningkatan NO hingga 4-5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3
ATA selama 2 jam. Terapi ini [aling banyak dilakukan pada pasien dengan
diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya
perfusi perifer dan oksigenasi di daerah distal.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Guyton
AC, Hall JE. Textbook of medical physiology 11ed. Saunders.
Philadelphia. 2006.
2. Huda
Nuh T. 2010. Pengruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren
pada penderita diabetes melitus di RS AL Dr. Ramelan Surabaya. Balai penerbit
FK UI. Jakarta.
3. Hanabe
I. 2004. Society for safety of hyperbaric medicine in ECHM Proceeding of the
1st European
4. Gitarja.
W.S. 2008. Perawatan Luka Diabetes. Edisi 2. Bogor. Wocare Publishing.
5. Veves,
A. Giurim,JM,.Logerfo,F. 2006. The Diabetic Foot. 2nd. Ner Jersey.
Hurana Press.
6. Fryberg,
R.G. et.al. 2000. Diabetic Foot Disorder; A Clinical Practice Guidline. USA.
Data Trace Publishing.
7. Subekti.
2006. Neuropati Diabetik. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Grim
et al. 2009. Hyperbaric Oxygen Therapie. Availlable
from : http://www.
hbotofaz.org/research/hbot.html. akses tanggal 23 Februari 2016.
9. Rijadi
MR, Sadewantoro, Guritno, Avongsa M. Ilmu Kesehatan Penyelaman Dan Hiperbarik.
Surabaya: Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL(LAKESLA); 2009. p. 88-101.
10. Seri
Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Bagi Petugas Kesehatan. Penyakit
Akibat Kerja Karena Pajanan Hiperbarik Dan Penyakit Lain Akibat Penyelaman.
Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Kerja Dan Olahraga Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2012. p. 9-15.
11. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Kesehatan Tentang Standar Pelayanan Medik
Hiperbarik. Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
12. Vann
RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE. Decompression illness. Jan 8, 2011;Vol
377.
13. Dirckx
JH. Hyperbaric Oxygen Therapy. Health Professions Institute, Sep 2009.
14. Shahriari
A, Khooshideh M, Heidari M. Diseases treated with hyperbaric oxygen therapy; a
literature review. Medical Hypothesis, Discovery & Innovation
Interdisciplinary Journal, 2014;1(2).
15. Latham
E, Byrd RP. Hyperbaric oxygen therapy. [serial online] 2014 Dec 19 [cited 2015
May 11]; [16 screens]. Available from: URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/1464149-overview
16. Stephenson
JC. Pathophysiology, treatment and aeromedical retrieval of SCUBA-related DCI.
Journal of Military and Veteran’s Health. Apr 2009; Vol 17(3).
17. Merlin
M, Ondeyka A, Marques-Baptista A. Decompression illness in scuba divers.
Emergency Medicine, Jun 2009.
18. Barrat
DM, Harch PC, Van Meter K. Decompression illness in divers: a review of the
literature. [serial online] 2011 Jan 8 [cited 2015 May 11]: [5 screens].
Available from: URL: http://www.hbot.com/hyperbaric-oxygen-therapy-decompression-illness/
19. Raveenthiraraja
T, Subha. Hyperbaric oxygen therapy: a review. Academic Sciences. International
Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 2013; Vol 5(4).
20. Naji
Z, Siddiqui MR. Assessing the effectiveness of hyperbaric oxygen therapy in
treating disease. [serial online] 2014 Nov 24 [cited 2015 May 11]: [7 screens].
Avalaible from: URL: http://www.webmedcentral.com/article_view/4767
21. Gupta
V, Vijay S, Gupta R, Koul S. Hyperbaric oxygen therapy. Department of Medicine
Govt. Medical College, 2005; 12(1):44-47.
22. Thom
SR. Hyperbaric oxygen-its mechanism and efficacy. National Institutes of
Health, 2011; 127(1):131-141.
23. A
physician’s Guide to the Hyperbaric Medicine Service. Palmetto Health Richland,
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar