Selasa, 26 April 2016

PERANAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS



BAB I
LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Estimasi terakhir oleh International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2013 didapatkan bahwa terdapat 382 juta orang yang hidup dengan diabetes di seluruh dunia. Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Di Indonesia sendiri,  berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 penderita DM yang terdiagnosis mencapai 12,2 juta penderita daan sekitar 1 juta orang merasakan gejala diabetes melitus namun belum dipastikan oleh pemeriksaan dokter. World Health Organization (WHO) memperkirakan Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan mencapai 21,3 juta penderita.
Peningkatan insidensi DM di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM yakni penyumbatan mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati dan neuropati maupun makrovaskuler seperti Penyakit Jantung Koroner (PJK), penyumbatan pembuluh darah tungkai bawah yang berujung pada terjadinya ulkus diabetik hingga ganggren. Komplikasi ini berdampak pada menurunnya kuaitas hidup penderita hinggga dapat menyebabkan kematian.
Sebagai suatu penyakit multifaktorial, penanganan DM dan komplikasinya masih menjadi masalah dalam dunia kedokteran. Selain terapi farmakologis dan non farmakologis yang sudah sejak dulu digunakan, saat ini telah berkembang terapi alternatif dengan menggunakan oksigen murni sebagai sumber pengobatan. Terapi ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Hyperbaric Oxigen Therapy (HBOT).
Pengobatan oksigenasi hiperbarik sudah dikenal sejak abad ke-16 dan digunakan sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan penyakit dan pengobatan. Tepatnya di Inggris tahun 1662 oleh Henshaw, Ruang Udara Bertekanan Tinggi/RUBT (Hyperbaric Chamber) digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kulit dan rickets. Di Perancis tahun 1834 oleh dr Junot menyatakan adanya penyembuhan bermakna pada pasien dengan penyakit cardiopulmoner yang diobati degan hiperbarik. Di Indonesia pada tahun 1960, pengobatan hiperbarik mulai digunakan oleh TNI AL yang selanjutnya dikembangkan di Tanjung Pinang, Jakarta, Ambon, Lakesla Surabaya, yang digunakan untuk menangani kasus-kasus cedera penyelamanan seperti keracunan gas pernapasan dan penyakit dekompresi.
Disamping pengobatan utama untuk penyakit-penyakit akibat penyelaman, saat ini hiperbarik juga telah digunakan di Indonesia sebagai pengobatan tambahan dan pengobatan pilihan lain dalam terapi untuk membantu penyembuhan berbagai penyakit klinis seperti penyembuhan luka infeksi, luka bakar, membantu penyembuhan komplikasi diabetes mellitus, serta kesehatan dan kebugaran pasien usia lanjut.





























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      DIABETES MELITUS

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang ditandai  dengan  terjadinya  hiperglikemia dan gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein yang  dihubungkan dengan kekurangan secara  absolut atau relatif dari kerja dan atau  sekresi insulin. Gejala yang dikeluhkan pada penderita DM yaitu  polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat badan, kesemutan.
Diabetes Melitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk/gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya. Tidak jarang, penderita DM yang sudah parah menjalani amputasi anggota tubuh karena terjadi pembusukan.
Untuk menurunkan kejadian dan keparahan dari Diabetes Melitus tipe 2 maka dilakukan pencegahan seperti modifikasi gaya hidup dan pengobatan seperti obat oral hiperglikemik dan insulin. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu:
1)         Rusaknya sel - sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
2)         Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
3)         Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan  perifer
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:
1)         Resistensi insulin
2)         Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan. Pada penderita DM tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa  hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti DM tipe 1. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relative. Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase  pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel - sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel β (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel β menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel β. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa  80-140 mg/dl  kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel β menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel β diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel β, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel β dan efek toksik glukosa (glucose toxicity).
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada  perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin.
Gejala DM dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut antara lain poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), serta mudah lelah. Sedangkan gejala kronik yaitu kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir > 4000 gram.
Prinsip penatalaksanaan DM secara umum ada lima sesuai dengan Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM terbagi menjadi tujuan jangka pendek yakni untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah, dan tujuan jangka panjang yaitu untuk mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi mikroangiopati dan makroangiopati. Lima prinsip penatalaksanaan DM antara lain diet, latihan, pendidikan kesehatan, dan pemberian obat DM yang terbagi dua yaitu obat hiperglikemia oral (OHO) dan insulin.
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1)         Komplikasi Metabolik Akut
a.         Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia dapat terjadi karena pemberian insulin atau obat antidiabetik oral yang berlebihan selama terapi DM, konsumsi makanan yang terlalu sedikit, maupun aktifitas fisik yang berat.
b.         Diabetes Ketoasidosis
c.         Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
2)         Komplikasi Metabolik Kronik Jangka Panjang
Komplikasi kronik jangka panjang yang melibatkan pembuluh-pembuluh kecil disebut mikroangiopati sedangkan pembuluh-pembuluh besar dan sedang disebut makroangiopati.
a.         Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik).
b.         Makroangiopati
Makroangiopati mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis yang akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan penyakit pembuluh darah perifer (misalnya kaki diabet). Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium. Dan jika yang terkena adalah arteri serebral makadapat mengakibatkan stroke.

Batasan Luka Gangren
Komplikasi DM yang paling berbahaya adalah komplikasi pada pembuluh darah. Pembuluh darah besar maupun kecil ataupun kapiler  penderita DM mudah menyempit dan tersumbat oleh gumpalan darah (angiopati diabetic). Jika sumbatan terjadi di pembuluh darah sedang atau besar ditungkai (makroangopati diabetik), tungkai akan lebih mudah mengalami gangren diabetik, yaitu luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk. Bila sumbatan terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar, penderita DM akan merasa tungkainya sakit sesudah ia berjalan pada jarak tertentu, karena aliran darah ke tungkai tersebut berkurang dan disebut claudication intermitten.
Beberapa faktor secara bersama-sama berperan pada terjadinya ulkus/ gangrene diabetes. Dimulai dari faktor pengelolaan penderita DM terhadap penyakitnya yang tidak baik, adanya neuropati perifer dan autonom, faktor komplikasi vaskuler yang memperburuk aliran darah ke kaki tempat luka, faktor kerentanan terhadap infeksi akibat respons kekebalan tubuh yang menurun pada keadaan DM tidak terkendali, serta faktor ketidaktahuan pasien sehingga terjadi masalah gangren diabetik. Secara umum, gangren diabetik biasanya terjadi akibat triad yaitu neuropati perifer, insufisiensi vaskuler perifer, dan infeksi.
Penderita yang beresiko tinggi mengalami gangren diabetik adalah meliputi lama menderita penyakit diabetes yang melebihi 10 tahun, usia pasien yang lebih dari 40 tahun, riwayat merokok, penurunan denyut nadi perifer, penurunan sensibilitas, deformitas anatomis atau bagian yang menonjol (seperti bunion atau kalus), riwayat ulkus kaki atau amputasi, pengendalian kadar gula darah yang buruk.
Rangkaian yang khas dalam proses timbulnya gangren diabetik  pada kaki dimulai dari cedera pada jaringan lunak kaki, pembentukan fisura antara jari-jari kaki atau di daerah kulit kering, atau pembentukan sebuah kalus. Jaringan yang terkena mula-mula menjadi kebiruan dan terasa dingin bila disentuh. Kemudian jaringan yang mati menghitam dan berbau busuk. Cedera tidak dirasakan oleh pasien yang kepekaannya sudah menghilang dan bisa berupa cedera termal, cedera kimia atau cedera traumatik. Pengeluaran nanah, pembengkakan, kemerahan (akibat selulitis) atau akibat gangren biasanya merupakan tanda pertama masalah kaki yang menjadi perhatian penderita.
Klasifikasi Skala Wagner gangrene Diabetik:
Tingkat 0
Resiko tinggi untuk mengalami luka pada kaki
Tidak ada luka
Tingkat 1
Luka ringan tanpa adanya infeksi, biasanya luka yang terjadi akibat kerusakan saraf
Kadang timbul kalus
Tingkat 2
Luka yang lebih dalam, sering kali dikaitkan dengan peradangan jaringan di sekitarnya. Tidak ada infeksi pada tulang dan pembentukan abses.
Tingkat 3
Luka yang lebih dalam ke tulang, dan terbentuk abses
Tingkat 4
Gangren yang terlokalisasi, seperti pada jari kaki, bagian depan kaki atau tumit
Tingkat 5
Gangren pada seluruh kaki
Sumber: Baranoski S dan Ayello EA (2003).Wound care essential: Principles. New York. Lippincott William &Wilkins.

 
Gambar 1. Diabetic foot lession grading system Wagner




Proses Penyembuhan Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.
a)         Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai pada fase ini adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan proses penyembuhan.
Fase ini berlangsung sejak hari ke 1-5. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang terputus dan reaksi hemostasis yang terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket dan bersama-sama  dengan fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, pembentukan sel radang, disertai vasodilatasi sempat ytaang menyebabkan edema. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas berupa rubor, kalor, dolor, dan tumor.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabakan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka dan juga mengeluarkan substansi vasokontriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah.
Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensorik, local reflex action, dan adanya substansi vasodilator juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka, maka secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan menjadi asidosis.
Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel leukosit (neutrofil) ke ruang ekstra vaskuler. Fungsi dari neutrofil ini adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian digantikan oleh sel magrofag yang berperan lebih besar jika dibandingkan dengan neutrofil.
Fungsi magrofag disamping fagositosis adalah sebagai sintesa kolagen, pembentukan jaringan granulasi bersama dengan fibroblast, memproduksi growth factor yang berperan pada proses reepitelisasi, pembentukan pembuluh darah kapiler baru dan angiogenesis. Dengan berhasil dicapainya keadaan luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta terbentuknya magrofag dan fibroblast, maka keadaan ini dapat dipakai pedoman bahwa fase inflamasi dapat dilanjutkan ke fase proliferasi. Secara klinis ditandai dengan eritema, hangat pada kulit lokal, edema dan rasa sakit yang berlangsung sampai 3 atau 4 hari.
b)        Fase proliferasi
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka yang ditandai dengan adanya pembelahan/proliferasi sel. Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggungjawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblast sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringaan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian beberapa substansi seperti kolagen, hyaluronic, fibronectin dan proteoglikan yang berperan dalam membangun rekonstruksi jaringan baru.
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat olleh fibroblast, memberikan penanda bahwa maakrofag, pembuluh daaraah baaru dan juga fibroblast sebagai kesatuan unit dapat memasuki daerah luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru tertanam didalam jaringan baru tersebut dise but ssebaagai jaringan granulasi. Sedangkan proses proliferaasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasi.
Respon yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah proliferasi. Migrasi, deposit jaringan matriks dan kontraksi luka. Tahap proliferasi juga terjadi angiogenesis, yaitu suatu prosses pembentukan pembuluh kapiler darah baru.vaskuler akibat penyakit diabetes, pemgobatan radiasi dan atau preparat steroid mengakibatkan terjadi lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis.
Jaringan vaskuler yang melakukan invasi luka merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup didaerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekannan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan aangiogenesuis merupakan proses yang terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor).
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan Keratinocyte  Growth Factor  yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratiniasai akan dimulai dari pinggir dan akhirnya membentuk barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kulaitasnyaa dengan mengatur keseimbangn jaringan granulasi dan dermis.
Untuk membantu jaringan baru itu menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal. Fase proliferasi ini akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi akan dipercept oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
Setelah 2 minggu , luka hanya memilki 3-5 % kekuatan. Sampai akhir bulan bisa sampai 35-59 % kekuatan maturasi luka tercapai. Kekuatan jaringan luka tidaak akan lebih dari 70-80 % dicapai kembali seperti keadaan normal. Baanyak vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.

c)         Fase maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke 3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu.
Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan sudah mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga kan terjadi proses pemecahan kolagen oleh enzim koligenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihanakan menyebabkan penebalan jaringan parut atau hypertropic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Pada proses ini dikatakan sembuh jika telah terjadi kontinuitas jaringan parut yang kuat atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal.

Proses Penyembuhan Luka Diabetes Melitus
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap orang, namun outcome yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat bila dibandingkan penderita kurang gizi, manula atau disertai penyakit sistemik.
Pasien diabetes sangat beresiko terhadap kejadian luka kaki yang lama sembuh, dan merupakan jenis luka kronis. Perawatan luka diabetes relatif cukup lama dan mahal, namun akan menjadi berkualitas hidupnya jika dibandingkan bila kehilangan salah satu anggota tubuhnya. Ada banyak alasan mengapa pasien diabetes beresiko tinggi terhadap kejadian luka kaki, diantaranya akibat kaki yang sulit bergerak terutama jika pasien dengan obesitas atau karena neuropati sensorik sehingga tidak sadar kakinya terluka, atau karena iskemik pada pasien perokok berat, sehingga proses penyembuhan luka menjadi terhambat akibat kontruksi pembuluh darah.
Disamping itu juga adanya gangguan sistem imunitas pada penderita diabetes menyebabkan luka mudah terifeksi dan jika terkontaminasi bakteri akan menjadi ganggren sehingga makin sulit perawatannya dan serta beresiko amputasi. Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa terjadi tumpang tindih. Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak serta penyebabluka tersebut.
Proses penyembuhan luka gangren merupakan proses yang komplek dengan melibatkan banyak sel. Proses penyembuhan meliputi fase koagulasi, inflamasi, proliferasi dan remodeling. Penyembuhan luka diawali adanya stimulus arachidonic acid pada komplemen luka, dimana polymorphonuclear granulosit menuju ke tempat luka sebagai pertahanan. Pada saat yang sama jika terjadi rupture pembuluh darah, kolagen subendotelial terekspos dengan platelet yang merupakan awal koagulasi. Inilah awal proses penyembuhan luka dengan melibatkan platelet. Kemudian terbentuk flug fibrin dan sel radang lainnya masuk kedalam luka. Flug fibrin yang terdiri dari fibrinogrn, fibronectin, vitronectin dan trombospondin dalam suatu rangkaian kerja yang saling berhubungan. Hal ini menyebabkan vasokontriksi dan terjadi koagulasi. Norephineprine disekresikan oleh pembuluh darah dan serotin oleh patelet dan sel mast bertangung jawab pada vasokontriksi ini. Pada tahapan ini terjadi proses adhesi, agregasi dan degranulasi kemudian mengeluarkan sitokain dan faktor pertumbuhan yang sebagian besar netrofil dan monosit serta mitogen, keudian timbul fibroblast dan sel endothel pada fase ini.
Bentuk-Bentuk Penyembuhan Luka
a.         Healing by primary intention (Penyatuan Primer)
Tepi luka bias menyatu kembali, permukaan bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke eksternal. Luka dibuat secara aseptic, dengan pengrusakan jaringan minimum dan penutupan dengan baik , seperti dengan suture, sembuh dengan sedikit haringan melalui intensi pertama. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan granulasi yang tampak dan pembentukan jaringan parut minimal.
b.         Healing by secondary intention (Granulasi)
Terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka dan sekitarnya. Pada luka terjadi pembentukan pus (supurasi) atau tepi luka tidak saling merapat, proses perbaikannya kurang sempurna dan membutuhkan waktu lebih lama.
c.         Delayed primary healing (tertiary healing)
Penyembuhan luka berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual, luka dalam baik yang belum disuture atau terlepas dan kemudian disuture kembali nantinya, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas. 

Gambar 2. Proses penyembuhan luka






A.      HIPERBARIK OKSIGEN (HBO)
1.         Definisi
Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata lain terapi hiperbarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada awalnya, terapi hierbarik hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh baik didalam sel maupun diuar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan disetiap organ didalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi macam-macam penyakit, beberapa diantaranya seerti stroke, multipel sclerosis, cerebral edema, keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma kepala tertututp, gas gangren, peripheral neuropathy, osteomielitis, sindroma kompartemen, diabetik neuropati, migran, infark miokard dan lain-lain.
Hiperbarik oksigen adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (atmosfer absolute). Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi bergantung pada kondisi pasien dengan rentang 1 sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida hingga 60 sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki.
2.         Mekanisme
Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama, bernafas dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yang tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat menekan saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke jaringan. Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada saturasi hemoglobin.
Kedua, di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma jauh lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya, menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer. Hasil tekanan dalam peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam plasma. Itu adalah konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh saat istirahat bahkan dalam total tidak adanya hemoglobin.
Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%) kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80%nya adalah nitrogen.
Pada TOHB, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal dan pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan tinggi, menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen kedalam darah serta jaringan dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali lebih tinggi dari normal.
Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal ini  merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan pembuluh darah baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan.

3.         Indikasi
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-penyakit akibat penyelaman dan kegiatan kelautan:
·      Penyakit Dekompresi
·      Emboli udara
·      Luka bakar
·      Crush Injury
·      Keracunan gas karbon monoksida (CO)
Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
·      Gas gangrene
·      Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
·      Eritema nodosum
·      Osteomyelitis
·      Buerger’s diseases
·      Morbus Hansen
·      Psoriasis vulgaris
·      Edema serebral
·      Scleroderma
·      Lupus eritematosus (SLE)
·      Rheumatoid artritis
Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:
·      Pelayanan kesehatan dan kebugaran
·      Pelayanan kesehatan olahraga
·      Pasien lanjut usia (geriatri)
·      Dermatologi dan kecantikan

4.         Kontraindikasi
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi absolute dan relatif. Kontra indikasi absolute yaitu penyakit pneumothorax yang belum ditangani. Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik lebih dari 170 mmHg atau kurang dari  90 mmHg, diastole lebih dari 110 mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih dari 38oC, ISPA, sinusitis, Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi CO2, infeksi virus, infeksi kuman aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optik, riwayat operasi thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin.
5.         Persiapan
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain:
·      Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
·      Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik antara lain vitamin c, morfin dan alkohol.
·      Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
·      Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum, salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen hiperbarik.
·      Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik silinder di ruang hiperbarik.
·      Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan potensi gelembung antara lensa dan kornea.
·      Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan kebakaran.
·      Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. Evaluasi mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien.
·      Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen pada pasien.   
·      Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
·      Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
·      Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi gas atau minum sebelum perawatan.

B.       PERANAN TERAPI HIPERBARIK TERHADAP DIABETES MELITUS
1.         Menurunkan kadar glukosa darah
Seperti yang diketahui, diabetes melitus timbul karena tubuh kekurangan insulin atau reseptor insulin tubuh tidak berfungsi baik. Insulin adalah hormon yang produksi sel beta di pankreas yang mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan pada hati dan otot. Dalam jangka panjang, kadar glukosa darah yang tinggi akan menaikkan kadar kolesterol dan trigliserida darah. Selanjutnya akan terjadi  aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) yang membuat aliran darah tidak lancar sehingga tubuh kekurangan oksigen.
Menurut Mayor Laut (K) Titut Harnanik, terapi hiperbarik oksigen (HBO) pada Penderita diabetes, terutama tipe II (gangguan pada reseptor insulin) mampu mempercepat kesembuhan dan mengurangi dosis obat yang diminum penderita diabetes. Dari hasil penelitiannya pada tahun 2008 pada 13 orang pasien diabetes diterapi memakai oksigen 100% dan tekanan 2,4 atmosfir (setara kedalaman 14 meter di bawah permukaan laut) selama lima hari berturut-turut, diberi perlakuan ini selama 2 jam, terjadi penurunan gula darah secara signifikan. Jika biasanya tak pernah kurang dari 200 miligram per desiliter (mg/dl), kadar gula darah mereka bisa sampai 60 mg/dl.
Pada pasien diabetes tipe I  yang mengalami kerusakan pada fungsi pankreas sehingga tak bisa menghasilkan insulin, setelah menjalani terapi oksigen hiperbarik beberapa waktu, pasien yang harus disuntik insulin itu bisa lepas dari ketergantungan pada insulin dari luar,  namun pasien wajib diterapi 3-5 kali per bulan seumur hidup guna menjamin pasokan oksigen ke pankreas.
Menurut Suyanto Sidik, terapi oksigen hiperbarik bersifat memperbaiki jumlah oksigen di dalam tubuh. Diabetes membuat kondisi pembuluh darah penderitanya buruk sehingga aliran darah tak lancar. Contohnya, ada pasien diabetes dengan luka terbuka yang tak sembuh atau tak kunjung kering. Hal itu terjadi karena pembuluh darah tak mendapat pasokan oksigen sehingga tak berfungsi normal dalam memperbaiki kerusakan sel.
Sedangkan menurut dr. Susan Manungkalit, yang juga dokter di Pusat Hiperbarik RS TNI AL dr Mintohardjo Jakarta mengatakan, HBO mampu meningkatkan kandungan oksigen pada plasma darah. Pada kondisi oksigen normal di udara bebas (20%) dengan tekanan normal (1 atmosfir), jumlah oksigen pada hemoglobin 20,1% dan plasma darah 0,32 persen. Jika diberi oksigen 100 persen dan tekanan normal 1 atmosfir, oksigen hemoglobin tetap 20,1% dan oksigen plasma darah jadi 2,14%. Ketika tekanan oksigen 100 persen dinaikkan jadi 3 atmosfir, jumlah oksigen dalam plasma darah jadi tiga kali lipat (6,42%). Meningkatnya tekanan dan volume oksigen menimbulkan oksigenasi pada jaringan yang mengalami kekurangan pasokan oksigen (hipoksia). Dampak lain, terjadinya pembaruan pembuluh darah, mendorong perkembangbiakan sel, dan meningkatkan ”kemampuan tempur” sel darah putih (leukosit). Pengobatan  Diabetes mellitus  (DM) adalah pengobatan seumur hidup yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, agar tetap produktif dan tidak menjadi beban masyarakat. Terapi ini dapat memberikan manfaat antara lain:
a)    Meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan sekresi hormon kontra insulin.
b)   Meningkatkan metabolisme aerob sehingga menurunkan kadar gula darah.
c)    Menurunkan kadar HbAlc, hal ini menunjukkan perbaikan pengolahan gula darah penderita Diabetes mellitus (DM) untuk jangka panjang.
d)   Memperlancar aliran darah terutama didaerah mikrosirkulasi sehingga mencegah komplikasi pada organ tubuh vital.
e)    Meningkatkan kebugaran penderita Diabetes mellitus.
2.         Meningkatkan regenerasi saraf perifer
Regenerasi saraf pada diabetes sangat esensial untuk perbaikan neuropati sama halnya dengan penyembuhan saraf akibat cedera dari kompresi saraf. Hipoksia endoneural akibat hiperglikemia diamati pada awal terjadinya diabetes dan hasil dari iskemia memainkan peran penting dalam mengurangi regenerasi neuron. Terapi hiperbarik oksigen mampu memproduksi jaringan yang hiperoksia dengan meningkatan tekanan oksigen pada jaringan yang iskemik dan tampak memiliki keuntungan dalam perbaikan neuropati iskemik.
3.         Mempercepat penyembuhan ulkus diabetik
Dalam keadaan iskemia, tubuh akan mengalami gangguan dalam proses terjadinya penyembuhan luka. Diketahui pula bahwa hipoksia tidak sama dengan iskemia, karena itu ada asumsi yang mengatakan bahwa pemberian oksigen lebih banyak akan membantu proses penyembuhan luka dalam keadaan tertentu. Sudah menjadi kenyataan bahwa HBO mempunyai efek yang baik terhadap vaskularisasi dan perfusi perifer serta kelangsungan hidup jaringan yang iskemik. Penggunaan oksigen hiperbarik dalam klinik meningkat dengan cepat dimana perbaikan vaskularisasi, perbaikan jaringan yang hipoksia dan pengurangan pembengkakan merupakan faktor utama dalam mekanismenya.
Kerusakan pada jaringan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah. Sel, platelet dan kolagen tercampur dan mengadakan interaksi. Butir-butir sel darah putih melekat pada sel endotel pembuluh darah mikro setempat. Pembuluh darah yang tersumbat akan mengadakan dilatasi. Leukosit bermigrasi diantara sel endotel ke tempat yang rusak dan dalam beberapa jam maka akan difiltrasi dengan granulosit dan makrofag. Sel darah putih akan digantikan oleh fibroblast yang juga melakukan metabolisme dengan cepat. Pada saat kebutuhan metabolisme jaringan rusak mengalami peningkatan tidak didukung oleh adanya sirkulasi lokal yang baik, maka akan terjadi hipoksia di daerah yang rusak tersebut.
Dalam  beberapa hari fibroblast mengalir ke daerah luka dan mulai terbentuk jaringan kolagen. Disamping itu juga terjadi neorovaskularisasi yang disebabkan oleh inflamasi dan kebutuhan perbaikan jaringan, merangsang pembentukan pembuluh darah baru. Pembentukan jaringan kolagen oleh fibroblast merupakan dasar dari proses penyembuhan luka, karena kolagen adalah protein penghubung yang mengikat jaringan yang terpisah menjadi satu.
Ada hal yang nampaknya paradoksal namun itu suatu kenyataan, yaitu apabila sel dibiarkan anoksi maka suatu polypeptide precursor kolagen menumpuk didalam sel tetapi tidak ada kolagen yang dilepaskan. Bila oksigen diberikan dengan kecepatan tinggi, maka enxim yang membentuk kolagen diaktifkan. HBO secara khusus bermanfaat dalam situasi dimana terdapat komprsi pada oksigenasi jaringan di tingkat mikrosirkulasi. Oksigen memperbaiki gradient oksigen untuk difusi dari pembuluh darah kapiler ke dalam sel dimana terdapat tahanan partial seperti edema, jaringan nekrotik, jaringan ikat, benda asing dan darah yang tidak mengalir.

Mekanisme HBO terhadap Ulkus Diabetik
HBO memiliki mekanisme dengan memoulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini HBO juga meningkatkan vasculaar endotel growth factor (VGEF). Melalui siklus krebs terjadi peningkatan nucleotide cid dihidroxi (NADH) yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VGEF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBO yaitu untuk wwound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karen hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Maka, kondisi daerah tersebut menjadi hipervaskular, hiperseleuler, dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-, i-NOS dan VGEF. IFN- menyebabkan TH-1 meningkat yang berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga pemberian HBO pada luka akan berfungsi menurunkan infeksi dan edema.
Adapaun cara HBO pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberian O2 100 %, tekanan 2-3 Atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompression sickness.  Maka akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luk. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang menyebabkan neovaskuarisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan NO hingga 4-5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Terapi ini [aling banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi di daerah distal.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology 11ed. Saunders. Philadelphia. 2006.
2.      Huda Nuh T. 2010. Pengruh hiperbarik oksigen terhadap perfusi perifer luka gangren pada penderita diabetes melitus di RS AL Dr. Ramelan Surabaya. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
3.      Hanabe I. 2004. Society for safety of hyperbaric medicine in ECHM Proceeding of the 1st European
4.      Gitarja. W.S. 2008. Perawatan Luka Diabetes. Edisi 2. Bogor. Wocare Publishing.
5.      Veves, A. Giurim,JM,.Logerfo,F. 2006. The Diabetic Foot. 2nd. Ner Jersey. Hurana Press.
6.      Fryberg, R.G. et.al. 2000. Diabetic Foot Disorder; A Clinical Practice Guidline. USA. Data Trace Publishing.
7.      Subekti. 2006. Neuropati Diabetik. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
8.      Grim et al. 2009. Hyperbaric Oxygen Therapie. Availlable from : http://www. hbotofaz.org/research/hbot.html. akses tanggal 23 Februari 2016.
9.      Rijadi MR, Sadewantoro, Guritno, Avongsa M. Ilmu Kesehatan Penyelaman Dan Hiperbarik. Surabaya: Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL(LAKESLA); 2009. p. 88-101.
10.  Seri Pedoman Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja Bagi Petugas Kesehatan. Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Hiperbarik Dan Penyakit Lain Akibat Penyelaman. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Kerja Dan Olahraga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2012. p. 9-15.
11.  Keputusan Menteri Kesehatan Republik Kesehatan Tentang Standar Pelayanan Medik Hiperbarik. Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
12.  Vann RD, Butler FK, Mitchell SJ, Moon RE. Decompression illness. Jan 8, 2011;Vol 377.
13.  Dirckx JH. Hyperbaric Oxygen Therapy. Health Professions Institute, Sep 2009.
14.  Shahriari A, Khooshideh M, Heidari M. Diseases treated with hyperbaric oxygen therapy; a literature review. Medical Hypothesis, Discovery & Innovation Interdisciplinary Journal, 2014;1(2).
15.  Latham E, Byrd RP. Hyperbaric oxygen therapy. [serial online] 2014 Dec 19 [cited 2015 May 11]; [16 screens]. Available from: URL: http://www.emedicine.medscape.com/article/1464149-overview
16.  Stephenson JC. Pathophysiology, treatment and aeromedical retrieval of SCUBA-related DCI. Journal of Military and Veteran’s Health. Apr 2009; Vol 17(3).
17.  Merlin M, Ondeyka A, Marques-Baptista A. Decompression illness in scuba divers. Emergency Medicine, Jun 2009.
18.  Barrat DM, Harch PC, Van Meter K. Decompression illness in divers: a review of the literature. [serial online] 2011 Jan 8 [cited 2015 May 11]: [5 screens]. Available from: URL: http://www.hbot.com/hyperbaric-oxygen-therapy-decompression-illness/
19.  Raveenthiraraja T, Subha. Hyperbaric oxygen therapy: a review. Academic Sciences. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 2013; Vol 5(4).
20.  Naji Z, Siddiqui MR. Assessing the effectiveness of hyperbaric oxygen therapy in treating disease. [serial online] 2014 Nov 24 [cited 2015 May 11]: [7 screens]. Avalaible from: URL: http://www.webmedcentral.com/article_view/4767
21.  Gupta V, Vijay S, Gupta R, Koul S. Hyperbaric oxygen therapy. Department of Medicine Govt. Medical College, 2005; 12(1):44-47.
22.  Thom SR. Hyperbaric oxygen-its mechanism and efficacy. National Institutes of Health, 2011; 127(1):131-141.
23.  A physician’s Guide to the Hyperbaric Medicine Service. Palmetto Health Richland, 2006.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar